Dari 5 narasumber yang diundang pada acara tersebut terlihat 3 di antaranya merupakan sumber pihak LGBT dan pro-LGBT (1 gay yang juga aktivis LGBT dan 2 orang pro-LGBT), dan 1 orang netral dan satu dari pihak Kontra LGBT.
Anehnya lagi sumber yang di ambil dari pihak pro LGBT adalah dari sumber yang tidak begitu paham akan persoalan LGBT yang merupakan seorang politikus, sehingga argumen-argumen yang ia kemukakan terlalu normatif dan subjektif. Tentu akan lain ceritanya jika yang diundang mewakili pihak kontra-LGBT adalah psikolog yang menganut paradigma bahwa homoseksualitas adalah penyakit kejiwaan dengan didukung data-data hasil riset sekaligus paham peta isu LGBT.
Ini masih ditambah dengan cara host Rosiana Silalahi memandu dialog yang amat terlihat kecondongannya kepada kubu LGBT dan pro-LGBT. Bisa diamati dari pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan kepada para narasumber.
Mengikuti bergulirnya dialog yang tidak berimbang ini bisa saja timbul persepsi bahwa mereka yang menolak LGBT hanyalah orang-orang kolot yang kurang piknik.
Tidak berhenti sampai di situ, acara sempat terjebak menjadi sentimentil ketika si aktivis gay menceritakan pengalamannya dan teman-temannya yang mendapat perlakuan tidak manusiawi. Saat ia bercerita dengan nada emosional nyaris menangis kamera meng-close-up wajahnya sebelum kemudian diakhiri tepuk tangan penonton -tentu dengan arahan floor director- lalu acara memasuki jeda iklan.
Yang juga menarik, 2 orang yang mewakili suara kubu pro-LGBT adalah perempuan berkerudung sedangkan si aktivis gay mengenakan peci Yang di dandan seolah-olah sebgaai seorang ustad atau istialahnya ustad dadakan ala kompas TV Yang bernama Hartoyo adalah pimpinan Lsm Lgbt Suara Kita.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa seolah ada pesan tersirat: tidak mengapa menjadi LGBT atau pendukung legalisasi LGBT sekaligus menjadi seorang yang religius.
Tentu saja tidak ada media yang netral, tapi jika kembali ke prinsip paling mendasar dalam dunia jurnalistik yaitu "cover both sides" kita bisa memepertanyakan apakah Program Khusus Kompas TV tadi malam sudah betul-betul memenuhi prinsip tersebut?
Atau hanya sekadar memenuhi "cover both sides" secara nominal dengan (sengaja?) mengundang orang yang tidak kompeten untuk mewakili kubu kontra? (Sebatas agar terkesan mematuhi prinsip "cover both sides" -padahal sebenarnya tidak)?
Jika para pegiat literasi media konsisten menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik saya pikir tayangan Kompas TV tadi malam juga harus mendapat perhatian. Itu kalau memang mau konsisten.
0 Response to "Ustad Dadakan Tampil Di Kompas TV Bahas LGBT Buat Netizen Marah"
Posting Komentar